Kamis, 15 April 2010

Frans "Sisir" Rumbino - Menjelajah Dunia dengan Musik Sisir


Kepalanya plonthos (gundul), tapi ke mana-mana ia selalu membawa sisir yang terselip di saku celananya. Untuk apa gerangan? Sisir yang biasa kita pakai untuk mempercantik diri dibalut dengan tas ¨kresek¨ oleh Frans disulap menjadi alat musik menarik!
Bakatnya terbilang langka. Bermusik dengan sisir dan kantong plastik “kresek”. Benda murah dan sederhana yang jamak kita pakai sehari-hari. Namun di tangan Mesakh Frans Rumbino, kedua benda itu mampu menghasilkan alunan musik menarik. Mirip suara saksofon yang mendayu-dayu dan trombone yang riang. Ia lantas dikenal dengan Frans Sisir. Kemahirannya bermusik dengan sisir telah mengantarnya keliling dunia dan bermain di depan kepala-kepala negara.

BERAWAL DARI ISENG

Kemampuan Frans bermusik dengan sisir dan plastik terbilang unik. Prosesnya pun tak kalah menarik. Kendati sejak kecil su-dah ditinggalkan orangtuanya, Frans kecil tak kehilangan keceriaan. “Keluarga saya broken home. Saya tinggal bersama kakek Robert dan nenek Alexanderina. Sejak kecil saya biasa mencari ikan untuk membantu kebutuhan keluarga,” tutur pria kelahiran Padaido, Biak Timur, 11 Februari 1972 ini. Sepulang mencari ikan, Frans suka meniup daun atau kulit kerang, mendendangkan lagu-lagu kampung, seperti Apuse, dll.

Dari kebiasaan meniup daun dan kerang itu, secara tak sengaja Frans bereksplorasi dengan sisir dan kantong plastik. Ceritanya, sebagai Putra Biak, Frans ingin mendukung kesebelasan kesayangannya, PSB Biak, ketika ada pertandingan sepak bola dalam Pekan Olahraga Daerah (Porda) di Jayapura. Namun, karena kala itu hanya ada sisir dan kantong plastik, Frans memanfaatkan kedua benda tersebut untuk menyemangati kesebelasan kesayangannya. Tak disangka, dari situlah ia mulai menyukai dan mendalaminya hingga dapat memainkannya dengan piawai.

“Awalnya cuma coba-coba saja meniup sisir yang saya bungkus dengan kantong plastik kresek,” ujar Frans. Semula, suaranya lurus ¨tet..tet ...tet...¨ saja. Dari situlah keluar ide untuk dipakai bermusik. Ia pun terus melatih kemampuannya meniup sisir. Mengasah talenta memang membutuhkan waktu yang lama.Awalnya tak mudah dan tidak berjalan mulus. Ia sering diolok-olok teman-temannya. Banyak tanta walaupun ada tantangan. Setiap kebaktian Jumat di SMP saya juga nyanyi dengan sisir dan plastik,” ucap Frans.

BERGULAT DENGAN KERASNYA KEHIDUPAN

Di balik talenta uniknya, kehidupan Frans tak kalah seru pula. Hidup menjelajah dari satu kota ke kota lain dengan keringat dan airmata. Pindah ke Jayapura, terpisah dari orangtua Frans harus berjuang agar dapat terus menyambung hidup. “Saya hidup di pasar dan terminal. Jadi kenek, kondektur, juga membantu mengangkat belanjaan orang. Meski susah, Tuhan itu baik. Dia tidak pernah melupakan anak-anak-Nya,” ujar sulung dari 6 bersaudara ini. Sekolahnya pun pindah-pindah, dari Jayapura, Blitar, Jakarta, dan kembali ke Jayapura hingga lulus SMP tahun 1988.

Karena prestasinya di sekolah, Frans mendapatkan beasiswa bersekolah di SMAN 8 Malang. Di kota kecil ini ada bakat lain yang ia kembangkan. Bermain bola. Menempati posisi striker, Frans sering tampil membela kesebelasan klubnya. Hasilnya? Boleh juga. “Waktu itu dapat 20-25 ribu (rupiah) tiap kali main. Sudah gedhe. Kost-kostan aja cuma 30-40 ribu,” ujarnya. Akibatnya waktu untuk bermusik memang berkurang.

SATU SEL DENGAN XANANA GUSMAO
Lulus SMA, Frans kembali hijrah ke Jakarta. Ia masuk di Fisipol UKI. Cita-citanya jadi diplomat. Namun karena terbentur biaya Frans mengadu nasib dengan menjadi penyanyi night club di kawasan Ancol hingga 3 tahun. Frans yang tergabung sebagai anggota Pemuda Pancasila ini juga sempat bekerja menjadi debt collector dan masuk dalam kehidupan yang keras. Cita-citanya pun kandas. Akibat pekerjaannya yang nyerempet bahaya, tahun 1999 Frans sempat mencicipi dinginnya dinding penjara Polda Metro Jaya. “Saya kena 4 bulan. Waktu itu anak pertama saya, Anelo, baru berusia satu bulan,” kenang ayah dari Anelo, Kezia, dan Lydia ini.

Setelah dua bulan di penjara Polda, Frans dipindah ke LP Cipinang. Hidup di rutan membuatnya me-nyadari kasih Tuhan. “Hidup saya hancur, tapi Tuhan beri kekuatan untuk bersaksi. Saya pikir hidup keras itu sia-sia,” katanya. Ia lantas mengajak teman-teman sesama tahanan menyikapi hidup secara positif. “Saya tetap merasakan kasih Tuhan di dalam LP. Saya ajak mereka olah raga, main musik, dan memuji Tuhan,” imbuhnya.

Dalam tahanan iman Frans semakin tumbuh dan berkembang. Di LP Cipinang Frans juga pelayanan bersama Xanana Gusmao, mantan presiden dan kini perdana menteri Timor Leste. “Saya teman satu sel dengan Xanana. Kami sama-sama pelayanan di LP,” lanjutnya. Lagu-lagu rohani dan alunan musik sisir dan plastik dari mulut Frans mampu menjadikan spirit bagi dirinya dan teman-teman sesama penghuni LP. Berbagai aktivitas, pelayanan, dan sikap positif yang ditunjukkan Frans selama di LP berganjar citra teladan. “Saya keluar dengan status napi terbaik,” ungkapnya.

MENGABDI DALAM PELAYANAN

Lepas dari LP, Frans terpanggil terjun dalam pelayanan. Kemampuan musikalitas Frans dalam bernyanyi dan meniup sisir berbalut plastik menjadi komoditi yang tak ternilai. Lengkingan saksofon yang dihasilkan banyak mengundang decak kagum pengunjung setiap ia tampil. Bukan hanya di panggung gereja. Frans juga diundang bernyanyi dan bermusik di berbagai acara. Peresmian acara, ulang tahun instansi dan pribadi hingga Lebaran pula. Banyak petinggi negara yang mengagumi bakat uniknya. Mantan Presiden Soeharto, Megawati, juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sultan Hassanal Bolkiah dibuatnya terpesona.

Ada kisah unik ketika Frans melakukan live performance di keluarga Cendana. “Saya pinjam sisir Pak Harto untuk membuktikan pakai sisir apa saja saya bisa,” ujar Frans yang ketika itu memainkan lagu Sio Mama. Ternyata, kata Frans, sisir milik mantan penguasa RI selama 32 tahun itu mampu menghasilkan suara lebih merdu. Tahun 2003 ke atas hidup Frans lebih banyak untuk pelayanan. Ken-dati demikian, bukan berarti semua berjalan baik. Ada saja orang yang mengambil keuntungan dari bakatnya. Ia sempat merasakan pengkhianatan oleh teman-temannya sesama asal Papua. Mulanya diajak rekaman, tapi akhirnya rekamannya dibajak. Namun hal itu tidak mematahkan semangatnya dalam melayani Tuhan.

NGAMEN DI PELATARAN LIBERTY
Tahun 2005 Frans mendapat kesempatan pelayanan di Amerika. Meski demikian, untuk mendapatkan visa ke Amrik tidak mudah. Ketika staf kedubes AS menanyakan tujuannya ke Amerika, ia jawab bermain musik. Mereka heran. “Saya keluarkan sisir dan plastik lalu nyanyi Amazing Grace,” ujarnya. Terpukau dengan nada indah kreasi Frans, mereka pun memberinya visa untuk 5 tahun! Di negeri Paman Sam ini, Frans pelayanan keliling New Jersey, new York, Philadelphia, Boston, Atlanta, dll. Ada kejadian unik ketika Frans bersama rombongan tur ke pelataran patung Liberty. Kagum dengan gedung pencakar langit dan megahnya patung Liberty, Frans lantas mengeluarkan sisir dan kantong plastiknya dan bermain memuji Tuhan. Sementara ia asyik dengan “alat musik”nya recehan dan lembaran dolar menghampiri. “Wah, saya dikira ngamen. Lumayan juga ada 80 dolaran,” kenangnya. Dengan sisir pula Frans telah berkelana ke Italia, Perancis, dan Belanda.

PESAN UNTUK KEMULIAAN TUHAN

Bagaimana Frans bisa menghasilkan suara dahsyat bak permainan saksofon Kenny G. hanya dari sisir dan kantong kresek? Apakah semua sisir dan kantong plastik bisa dipakai? “Pada dasarnya semua sisir dan plastik bisa. Tapi lebih bagus kalau sisirnya agak lembut dan plastiknya tipis. Saya meniupnya pakai perasaan,” ujarnya. Bunyi saksofon yang keluar dari sisir dan plastik kresek berasal dari paduan antara napas perut yang sudah terlatih dengan suara vibrasi plastik. Apa sih kesulitannya? “Sama seperti peniup pada umumnya, kalau napasnya pendek ya tidak bisa. Butuh napas panjang,” ungkapnya.

Kendati bakatnya terbilang langka, Frans tidak berambisi memasukkan dalam catatan rekor tertentu. “Tujuan saya bukan untuk mendapatkan penghargaan, tapi bagaimana nama Tuhan dimuliakan. Saya berharap dapat keliling dunia dengan sisir dan plastik bagi Tuhan Yesus. Saya berdoa supaya orang diberkati dan jadi kesaksian bahwa sisir dan plastik dapat memuliakan Tuhan,” tandasnya. Dulu, lanjutnya, Tuhan pakai tukang kayu, nelayan, dsb. Saya bangga karena saya dulu nelayan. Saya percaya Anda lebih dari sisir. Keterbatasan tak harus membatasi kita dalam berkreativitas. Frans telah membuktikan. Merangkai melodi nan harmoni dari benda sederhana untuk membawakan nyanyian yang sarat pesan.


~ bahana ~

Sabtu, 10 April 2010

Sukses itu mulai dari NOL

Hendy Setiono, Miliarder Muda Indonesia

8 Februari 2010 broali
Tidak ada alasan untuk tidak memulai bisnis, bagi yang merasa masih muda ini contoh yang pas sebagai inspirasi. Berbisnis tidak mengenal usia dan kondisi. Asal ada kemauan Insya Allah akan ada jalannya. Tulisan ini sebagai rangkaian inspiration story yang akan memuat kisah pengusaha sukses dari berbagai latar belakang. Tulisan ini saya ambil dari situsnya Pak Purdi E Chandra (www.purdiechandra.net) seorang Tokoh yang sangat saya kagumi. Beliau melalui Entrepreneur University telah banyak mencetak pengusaha baru di Indonesia. Baru-baru ini Pak Purdi mendapat predikat Gila dari Museum Rekor Indonesia karena prestasinya dibidang entrepreneur. oke, Terimakasih Bos Purdi and selamat Membaca…….
Raih Berkah di Jalur Timur Tengah
Namanya Hendy Setiono, pemuda Alumni Entrepreneur University Surabaya ini masih sangat muda, baru 25 tahun. Tapi, sepak terjang bisnisnya sudah tak diragukan lagi. Kalau Anda menjumpai mobil Nissan X-Trail bernomor polisi K 38 AB di jalanan, itulah mobil Hendi. Pelat nomor seharga Rp 16 juta itulah yang membuat orang mudah mengenali dan menyapanya ketika sedang jalan-jalan dengan mobilnya. “Biasanya tukang parkir menggoda, bayarnya pakai kebab saja,” ujarnya lantas tertawa.
Pelat nomor sengaja dibuat K 38 AB untuk mendekati kata kebab. Berkat kebab inilah, nama Hendi sebagai pengusaha muda sukses, terukir.

Hendy adalah pendiri dan presiden direktur PT Baba Rafi Indonesia. Kebab Turki Baba Rafi adalah hasil inovasi bisnisnya. Dia memulai bisnis itu dengan modal hanya Rp 4 juta. Dia enggan meminta bantuan orang tua. “Itu duit hasil pinjam arek-arek (teman-temannya, Red) dan saudara,” kisahnya.
Outlet makanan ala Timur Tengah itu kini berjumlah 325, membentang dari kawasan superramai seperti Jakarta hingga pelosok Ambon. Ratusan outlet itu dipantau dan disupervisi dari dua kantor operasional di kawasan Nginden, Surabaya, dan Pondok Labu, Jakarta. Tahun lalu omzet usahanya mencapai Rp 45 miliar, dan 25 persen di antaranya masuk kantongnya sebagai laba bersih. “Tahun ini omzetnya saya targetkan Rp 60 miliar,” ujarnya.
Apa yang sudah dipunyai Hendy dari keberhasilannya berbisnis? Hendy tampak agak malu menjawab pertanyaan ini. Sekulum senyum kecil dikeluarkannya. “Apa ya? Ehm, ada beberapa, Mas. Alhamdulillah. Masak disebutkan?” katanya masih diiringi senyum.
Dia terbatuk sebentar. Agak ragu, tak lama kemudian, Hendy mulai menjawab. “Aset yang pertama saya beli Yamaha Mio,” ujarnya. Dia membeli motor itu beberapa bulan setelah memulai berbisnis. “Ke mana-mana saya pakai motor itu,” tuturnya.
Setahun pertama, Hendi mengaku “hanya” mendapat penghasilan bersih per bulan Rp 20 juta. “Wah, rasanya sudah seneng banget. Baru umur 20 tahun, penghasilan sudah Rp 20 juta sebulan,” ceritanya.
Setelah membeli Yamaha Mio? “Sekarang kasihan motor itu, sudah nggak muat nampung badan saya semakin melar. Jadi, cari motor yang agak gedean, pakai Harley-Davidson,” ujar nominator Asia’s Best Entrepreneur Under 25 versi Majalah BusinessWeek tersebut.
Selain itu, Hendi punya dua rumah; satu di Jakarta dan satu lagi di Surabaya. Di Surabaya, dia membeli rumah di salah satu kawasan elite, Perumahan Bumi Galaxy Permai. Soal rumah yang satu ini, Hendi punya cerita tersendiri. “Ini rumah idaman saya,” tuturnya.
Dulu, cerita Hendi, semasa masih duduk di bangku kuliah di Jurusan Teknik Informatika ITS, setiap pulang dari kampus, Hendi yang kala itu tinggal di Semolowaru, Surabaya, selalu melewati kawasan perumahan itu. Dia sering berhenti sejenak di perumahan elite itu. Saking seringnya mondar-mandir di perumahan itu sepulang dari kampus, dia sampai kenal dengan sejumlah satpam di sana. “Rumahnya besar-besar, megah-megah. Kelak saya ingin punya rumah seperti ini,” tekadnya ketika itu.
Hendi mengaku terkagum-kagum dengan rumah-rumah di kawasan itu. “Bahkan, hujan saja nggak banjir, beda dengan rumah saya. Halaman depannya itu lebih luas daripada rumah saya di Semolowaru,” kisahnya.
Dari proses itulah Hendi yakin bahwa mimpi yang terus disemai akan bisa mewujud jika diiringi pancangan semangat yang kuat untuk mewujudkannya. “Semuanya berangkat dari impian. Alhamdulillah, saya kemarin berangkat ke Jakarta (wawancara dengan Hendi dilakukan di Jakarta beberapa waktu lalu, Red) sudah dari rumah di Galaxy Bumi Permai,” ceritanya. “Kalau saya tidak berani mulai jualan pakai gerobak, semua mimpi itu hanya tinggal mimpi,” imbuhnya.
Dengan segala apa yang dimiliki kini, Hendi lebih leluasa menyalurkan hobinya berjalan-jalan. Setiap mengisi seminar di berbagai kampus di Indonesia, dia selalu menyempatkan diri mengunjungi berbagai tempat wisata. “Saya lebih suka ke tempat wisata yang alami, lihat pantai, lihat hutan,” ujarnya.
Jalan-jalan ke luar negeri juga sudah menjadi rutinitas yang sangat biasa bagi salah satu 10 Tokoh Pilihan 2006 versi majalah Tempo tersebut. “Dulu jalan-jalan ke luar negeri itu jadi mimpi, sesuatu yang wah, seolah nggak terjangkau. Alhamdulillah, sekarang udah sering,” tuturnya.
Hendy tak melupakan sedekah. Dananya secara tetap didonasikan ke tujuh yayasan yatim-piatu. “Saya menyadari sulitnya kehidupan mereka karena orang tua saya juga bukan orang kaya,” katanya. Dia yakin, jika seseorang tak perhitungan dalam sedekah, rezeki yang diberikan Tuhan akan terus mengalir. “Saya yakin istilah inden rezeki. Orang biasanya membayar zakat 2,5 persen dari keuntungan. Saya membaliknya, sebelum ada untung, harus bayar zakat dulu,” ujarnya. “Pokoknya, kalau omzet turun, kita hajar dengan sedekah,” imbuhnya.
Di luar itu Hendy hampir tidak pernah menghambur-hamburkan uang untuk hobi yang tidak jelas. Misal, clubbing di tempat hiburan malam. “Kalau jalan-jalan ke mal, itu rutin. Tapi, saya dan keluarga tidak konsumtif. Paling-paling hanya lihat tren fashion saat ini untuk diterapkan ke bisnis saya. Misalnya, untuk desain pakaian karyawan dan outlet-outlet,” ujar pria kelahiran 30 Maret 1983 itu. Ketika jalan-jalan itu, Hendi tak khawatir dengan roda bisnisnya. “Owner-nya bisa jalan-jalan, yang mantau manajemen di Surabaya dan Jakarta.”
Hendy lebih suka memakai uangnya untuk melebarkan sayap bisnis. Dia yakin bahwa tak boleh ada kata berpuas diri dalam jiwa seorang pebisnis. Dia kini meretas gerai Roti Maryam Aba-Abi, roti khas Timur Tengah. “Sekarang baru 40 outlet, mayoritas masih di Jatim,” kata Hendi yang, bersama aktris Dian Sastro dan Artika Sari Devi, menjadi duta Wirausaha Muda Mandiri tersebut.
Tak hanya itu, insting bisnis yang kuat membawa pria berbadan subur itu mendirikan Baba Rafi Palace. Sudah dua pondokan megah yang disewakan di Surabaya. “Di Siwalankerto, ada 18 kamar dengan tarif Rp 700 ribu per bulan per kamar. Lalu di Prapanca ada 16 kamar, tarifnya Rp 1,2 juta per bulan,” ujarnya.
Satu lini bisnis makanan juga sedang disiapkan Hendy. “Lagi ngerjakan Piramida Pizza. Kalau biasanya pizza ditaruh loyang, ini mau ditaruh di cone. Jadi, makan pizza bisa sambil jalan-jalan, seperti makan es krim,” terang bapak dengan tiga anak itu.
Dia juga bakal berekspansi ke luar negeri. “Di Malaysia saya baru aja bikin Baba Rafi Malaysia Sdn Berhad. Target awalnya mendirikan 25 outlet kebab,” ujarnya.
Dari UKM(elarat) ke UKM(iliaran)
Hendy memulai bisnis dengan terseok-seok. “Tentu tidak langsung bombastis seperti sekarang. Saya harus jatuh bangun, berdarah-darah.” Dia mengisahkan, saat baru dua minggu berjualan kebab dengan satu gerobak di kawasan Nginden, Surabaya, orang yang diajaknya berjualan sakit.

Dari semula berjualan berdua, dia pun memutuskan menunggui gerobaknya seorang diri. “Ndilalah hari itu hujan deras, jadi sepi,” ceritanya. Untuk menghibur diri, hasil jualan hari itu dibelikan makanan di warung sebelah tempat gerobaknya berdiri. “Di sana ada warung sea food. Saat saya membayar, eh ternyata lebih mahal daripada hasil jualan saya. Jadi, malah rugi,” kisahnya.
Hendy memulai bisnis kala berusia 20 tahun. Dia berhenti kuliah di Jurusan Teknik Informatika ITS saat masuk tahun kedua. “Belum sempat di-DO (drop out, Red), saya OD, out dhewe (keluar sendiri, Red),” ujarnya lantas tertawa.
Ibunya yang pensiunan guru dan bapaknya yang bekerja di sebuah perusahaan di Qatar shock melihat keputusan Hendy. “Orang tua saya ingin saya selesai kuliah, lalu kerja di perusahaan. Bukan malah jualan pakai gerobak,” katanya. Namun, Hendi bergeming. “Setelah berhasil, orang tua malah ingin ikut-ikutan berbisnis,” kata ayahanda Rafi Darmawan, 5, Reva Audrey Sahira, 3, dan Ready Enterprise, 1.
Kini bisnisnya terus membesar. Dari hanya satu karyawan, kini perusahaannya mempekerjakan 700 karyawan. “Yang jadi manajemen inti 200 orang. Semuanya lulusan S1 dan S2,” ceritanya, bangga.
Dia mengibaratkan perjalanan bisnisnya dengan dua istilah UKM yang berbeda. “Dulu kami hanya UKM, usaha kecil melarat. Sekarang masih UKM, tapi usaha kecil miliaran,” tuturnya.
Sekarang ada satu mimpi yang bakal diwujudkan tahun ini. “Saya ingin mengajak semua keluarga jalan-jalan ke Eropa.”